Senin, 10 Juni 2013

Tulisan 3 (Cinta dan Perkawinan)

6 Pilar Penyangga Perkawinan

Di masa pacaran, boleh jadi cinta memang sejuta rasanya. Namun ketika memasuki perkawinan, modal cinta saja tak cukup untuk mempertahankan kelangsungan sebuah keluarga. Dalam mencari pasangan hidup, budaya Jawa mengenal sejumlah kriteria yang dikenal dengan istilah bobot, bibit, bebet. Namun pada kenyataannya, banyak orang beranggapan salah satunya saja sudah cukup memenuhi kriteria pasangan hidup. "Cari pasangan ya lihat pribadinya dong! Punya mobil pribadi, rumah pribadi, dan kalau perlu vila pribadi!" ujar seorang perempuan tanpa maksud bergurau. "Kalau menurut saya sih, yang penting harus punya tanggung jawab," sela seorang teman bicaranya. "Yang paling penting ya cinta dong!" yang lain menyergah tak kalah semangat.
Sebetulnya apa saja sih pilar penyangga yang kokoh bagi kelanggengan sebuah perkawinan? Benarkah cinta bisa diandalkan? Sepenuhnya ditentukan oleh kelimpahan materi? Bagaimana soal komitmen dan tanggung jawab? Seberapa penting aspek kepribadian kedua belah pihak? Bagaimana dengan hal-hal lain, bisakah diabaikan?
"Proses menimbang-nimbang memang seharusnya sudah dimulai sebelum suami-istri memasuki gerbang pernikahan," kata Titi P. Natalia, M.Psi. Meski ia tak menyangkal banyak pasangan yang tidak "sempat" melewati proses seleksi. Meminjam istilah anak zaman sekarang, ada tahapan yang mesti dilalui, yakni koleksi, seleksi, baru resepsi. Akan tetapi Titi mengingatkan agar kita tidak perlu lagi menoleh ke belakang hanya untuk mempertanyakan apakah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui atau belum. "Sebaiknya lihat saja ke depan. Komitmen dan kesungguhan suami istrilah yang paling dibutuhkan begitu janur kuning sudah dipasang melengkung," tandasnya.

6 Pilar Yang Dibutuhkan
Pilar-pilar yang dibutuhkan demi kokohnya sebuah pernikahan memang tidak sedikit.
Berikut di antaranya:

  • Latar belakang keluarga Tak bisa dipungkiri

  • latar belakang keluarga kedua belah pihak pastilah memegang peran penting. Yang termasuk di sini antara lain suku, bangsa, ras, agama, sosial, kondisi ekonomi, pola hidup dan sebagainya. Namun bukan berarti pasangan dengan latar belakang yang sangat berbeda dan bertolak belakang tidak mungkin bersatu. Hanya saja mereka mesti lebih siap dituntut berupaya lebih keras dalam proses penyesuaian diri.
  • Kesetaraan

  • Kesetaraan akan mempermudah suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Adanya kesetaraan dalam banyak hal dapat meminimalkan friksi yang mungkin timbul. Kesetaraan ini antara lain meliputi kesetaraan pendidikan, pola pikir dan keimanan.
     
  • Karakteristik individu

  • Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan ini menjadi salah satu pilar yang menentukan langgeng tidaknya sebuah rumah tangga. Individu dengan karakter sulit yang bertemu dengan individu yang juga berkarakter sulit, tentu lebih berat dalam mempertahankan pernikahannya. Sebaliknya, yang berkarakter sulit bila bertemu dengan pasangan yang berkarakter mudah, tentu proses penyesuaian yang harus dijalaninya bakal lebih mulus.
     
  • Cinta

  • Jangan anggap sepele kata yang satu ini. Walaupun tidak berwujud, cinta dapat dirasakan. Pernikahan tanpa cinta bisa dibilang ibarat sayur tanpa garam, serba hambar dan dingin. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang mencakup makna melindungi, memiliki tanggung jawab, memberi rasa aman pada pasangan dan sebagainya. Ada yang bilang, setelah sekian tahun menikah cinta biasanya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Sementara yang tersisa tinggal tanggung jawab. Benarkah? "Tidak harus seperti itu karena cinta bisa dipupuk supaya terus subur. Apalagi menjalani tanggung jawab akan terasa lebih ringan kalau ada cinta di dalamnya," ujar Titi. Meski tentu saja, mempertahankan rumah tangga tidak cukup bermodalkan cinta semata!

  • Kematangan dan motivasi

  • Kematangan suami/istri memang ditentukan oleh faktor usia ketika menikah. Mereka yang menikah terlalu muda secara psikologis belum matang dan ini akan berpengaruh pada motivasinya dalam mempertahankan biduk rumah tangga. Namun usia tidak identik dengan kematangan seseorang karena bisa saja orang yang sudah cukup umur tetap kurang memperlihatkan kematangan.
     
  • Partnership

  • Pilar rumah tangga berikutnya adalah partnership alias semangat bekerja sama di antara suami dan istri. Tanpa adanya partnership, umumnya rumah tangga mudah goyah. Selain itu perlu "persahabatan" yang bisa dirasakan keduanya. Coba bayangkan, alangkah nikmatnya bila masalah apa pun yang menghadang senantiasa dihadapi bersama dengan seorang sahabat.

    Bila Terjadi Kepincangan
    Idealnya, ucap Titi, semua pilar tersebut sama-sama ikut menyangga bangunan rumah tangga agar segala sesuatunya menjadi lebih kokoh dan kuat. Namun dalam realitas sering terdapat kepincangan di sana-sini, entah dalam hal motivasi, kesetaraan dan sebagainya. Kalau hal seperti ini yang terjadi, apa yang harus dilakukan?
    "Semua terpulang pada tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau memang tujuan mereka jelas dan motivasi suami maupun istri kuat, tentu akan ada usaha dari kedua belah pihak untuk menyelaraskan semuanya," jawab psikolog yang antara lain berpraktik di Empati Development Center. Keduanya akan bersedia menerima pasangannya, apa pun adanya. "Tapi ingat, menerima di sini bukan berarti pasrah begitu saja lo, melainkan harus ada penyesuaian di sana-sini yang bisa diterima bersama."
    Mengarungi biduk perkawinan tanpa masalah memang mustahil karena friksi-friksi sangat mungkin muncul kapan saja dan mencakup aspek apa saja. "Namun sekali lagi kembali pada usaha suami dan istri untuk mempersepsikan perbedaan yang ada. Apakah perbedaan itu akan dibesar-besarkan atau dicarikan jalan keluarnya."
    Saat menentukan pilihan mungkin saja calon suami/istri adalah yang terbaik. Namun dalam perjalanan hidup perkawinan mereka, di mata istri atau suami, ternyata pasangannya bukan lagi yang terbaik. Lo, kok bisa begitu? "Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Selalu saja ada perubahan. Oleh karena itulah dibutuhkan kesadaran kedua belah pihak untuk terus-menerus menyesuaikan diri."
    Singkatnya, walaupun semua pilar yang disebutkan itu ada dalam rumah tangga, tidak ada jaminan bahwa pernikahan ini akan mulus tanpa batu sandungan. Namun setidaknya dengan adanya pilar-pilar kokoh tadi, suami dan istri akan dipermudah dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

    Tanggapan:
    Artikel diatas memberi saran untuk mempertahankan atau membangun perkawinan yang baik namun pada dasarnya setiap perkawinan memrlukan komunikasi yang kuat antara kedua belah pihak agar mereka bisa berjuang bersama mempertahankan perkawinannya. Apabila yang berjuang untuk mempertahankan hubungan perkawinan hanya dari salah satu pihak, perkawinan tersebut tidak akan berjalan baik.


    Cinta Dan Perkawinan

    Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
    Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta"
    Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
    Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"
    Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting - ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya"
    "Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah cinta"
    Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
    Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"
    Plato pun menjawab, "Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya“
    Gurunyapun kemudian menjawab, "Dan ya itulah perkawinan"
    Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan.
    Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.
    Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan... tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali.
    Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur.
    Terimalah cinta apa adanya.
    Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta.
    Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya.
    Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia - sialah waktumu dalam mendapatkan
    perkawinan itu, karena sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.

    Referensi:

    Nama: Anggi Effry Liqwiyanti
    NPM: 10511885
    Kelas: 2PA01
     

    Tulisan 2 (Hubungan Interpersonal)

    Hubungan interpersonal adalah dimana ketika kita berkomunikasi, kita bukan sekedar menyampaikan isi pesan, tetapi juga menentukan kadar kebermaknaan dari komunikasi tersebut.  Jadi ketika kita berkomunikasi kita tidak hanya menentukan content melainkan juga menentukan relationship. Dari segi psikologi komunikasi, kita dapat menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang untuk mengungkapkan dirinya; makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya; sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung diantara komunikan.
    A.   Model-model  Hubungan Interpersonal
    Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai hubungan interpersonal, yaitu :
    1. Model Pertukaran Sosial
    Thibault dan Kelley, dua orang pemuka dari teori ini menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”.
    Ganjaran yang dimaksud adalah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran dapat berupa uang, penerimaan sosial, atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya adalah akibat yang negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menimbulkan efekefek tidak menyenangkan.
    2. Model Peranan
    Model peranan menganggap hubungan interpersonal sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang harus memerankan peranannya sesuai dengan naskah yang telah dibuat oleh masyarakat.
    3. Model Interaksional
    Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem memiliki sifat-sifat strukural, integratif dan medan. Setiap hubungan interpersonal harus dilihat dari tujuan bersama, metode komunikasi, ekspektasi dan pelaksanaan peranan.
    B.    Tahap Hubungan Interpersonal
    Adapun tahap-tahap untuk menjalin hubungan interpersonal, yaitu:
    1.      Pembentukan
    Tahap ini sering disebut juga dengan tahap perkenalan. Beberapa peneliti telah menemukan hal-hal menarik dari proses perkenalan. Fase pertama, “fase kontak yang permulaan”, ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk menangkap informasi dari reaksi kawannya. Masing-masing pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap dan nilai pihak yang lain. bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri. Pada tahap ini informasi yang dicari meliputi data demografis, usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga dan sebagainya.
    Menurut Charles R. Berger informasi pada tahap perkenalan dapat dikelompokkan pada 7 kategori, yaitu:
                a) informasi demografis
    b) sikap dan pendapat (tentang orang atau objek)
    c) rencana yang akan dating
    d) kepribadian
    e) perilaku pada masa lalu;
    f) orang lain
    g) hobi dan minat.
    2.  Peneguhan Hubungan
    Hubungan interpersonal tidaklah bersifat statis, tetapi selalu berubah. Ada empat faktor penting dalam memelihara keseimbangan ini, yaitu:
    a)       keakraban
    keakraban merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang.
    b)       respon yang tepat
    dimana  respon A harus diikuti oleh respon yang sesuai dari B. Respon ini bukan saja berkenaan dengan pesanpesan verbal, tetapi juga pesan-pesan nonverbal. Jika pembicaraan yang serius dijawab dengan main-main, ungkapan wajah yang bersungguh-sungguh diterima dengan air muka yang menunjukkan sikap tidak percaya, maka  hubungan interpersonal mengalami keretakan. Ini berarti kita sudah memberikan respon yang tidak tepat.
    c)        nada emosional yang tepat.
    keserasian suasana emosional ketika komunikasi sedang berlangsung.

    3.    Pemutusan Hubungan
    Menurut R.D. Nye dalam bukunya yang berjudul Conflict Among Humans, setidaknya ada 5 sumber konflik yang dapat menyebabkan pemutusan hubungan, yaitu:
    a.  Kompetisi, dimana salah satu pihak berusaha memperoleh sesuatu dengan mengorbankan orang lain.
    b. Dominasi, dimana salah satu pihak berusaha mengendalikan pihak lain sehingga orang tersebut merasakan hak-haknya dilanggar.
    c. Kegagalan, dimana masing-masing berusaha menyalahkan yang lain apabila tujuan bersama tidak tercapai.
    d. Provokasi, dimana salah satu pihak terus-menerus berbuat sesuatu yang ia ketahui menyinggung perasaan yang lain.
    e. Perbedaan nilai, dimana kedua pihak tidak sepakat tentang nilai-nilai  yang mereka anut.
    C. Intimasi dan hubungan pribadi
    Menurut Steinberg (1993) berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional antara dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan untuk memperlihatkan pribadimmasing-masing yang terkadang lebih bersifat sensitif serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama. Sullivan (Prager, 1995) mendefinisikan intimasi sebagai bentuk tingkah laku penyesuaian seseorang untuk mengekspresikan akan kebutuhannya terhadap orang lain.
    Keintiman (intimacy) sangat berkaitan dengan derajat kecintaan, kepercayaan, kepuasan, tanggung jawab dan pengertian pasangan dalam hubungan yang dekat (intim). Keintiman  juga  memberikan sumbangan besar dalam memenuhi kebutuhan individu dan keintiman itu pun memberikan efek positif pada kebaikan pasangan dalam suatu hubungan pertemanan (Prager & Buhrmester).
    Untuk menjalin hubungan pribadi diperlukan adanya intimasi. Cinta interpersonal membutuhkan tiga hal: Intimacy, Passion, dan Commitment. Keberasamaan yang menciptakan intimacy dan kenyamanan ini adalah sebuah wujud awal dari cinta yang sering disebut sebagai persahabatan atau pertemanan (Liking/Friendship). Proses pendekatan itu proses dimana kebersamaan yang menciptakan intimacy dan kenyamanan yang merupakan wujud awal cinta. Jika intimacy, Passion, dan Commitment terpenuhi, maka sebuah hubungan akan menjadi sempurna karena diliputi oleh cinta yang menyeluruh (Consummate Love). Namun, keadaan yang penuh cinta yang menyeluruh ini bisa berlangsung selamanya dan bisa juga tidak. Ketika Intimacy yang hilang, maka yang terjadi adalah cinta absurd (Fatuous Love).
    Cinta absurd adalah cinta yang bersandar pada Passion dan Commitment. seperti mempertahankan pernikahan atau berpacaran karena teman, orangtua, usia, dan motivasi dari luar lainnya.
    D.   Intimasi dan pertumbuhan
    Sullivan (Prager, 1995) mendefinisikan intimasi sebagai bentuk tingkah laku penyesuaian seseorang untuk mengekspresikan akan kebutuhannya terhadap orang lain. Kemudian, Steinberg (1993) berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional antara dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan untuk memperlihatkan pribadi masing-masing yang terkadang lebih bersifat sensitif serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
    Apapun alasan untuk berpacaran, untuk bertumbuh dalam keintiman, yang terutama adalah cinta. Keintiman tidak akan bertumbuh jika tidak ada cinta . Keintiman berarti proses menyatakan siapa kita sesungguhnya kepada orang lain. Keintiman adalah kebebasan menjadi diri sendiri. Keintiman berarti proses membuka topeng kita kepada pasangan kita. Bagaikan menguliti lapisan demi lapisan bawang, kita pun menunjukkan lapisan demi lapisan kehidupan kita secara utuh kepada pasangan kita.
    Keinginan setiap pasangan adalah menjadi intim. Namun, respon alami kita adalah penolakan untuk bisa terbuka terhadap pasangan kita. Hal ini dapat disebabkan karena :
    ·      kita tidak mengenal dan tidak menerima siapa diri kita secara utuh.
    ·      kita tidak menyadari bahwa hubungan pacaran adalah persiapan memasuki pernikahan.
    ·         kita tidak percaya pasangan kita sebagai orang yang dapat dipercaya untuk memegang    rahasia.
    ·         kita dibentuk menjadi orang yang berkepribadian tertutup.
    ·         kita memulai pacaran bukan dengan cinta yang tulus .
    Referensi :

    Nama: Anggi Effry Liqwiyanti
    NPM: 10511885
    Kelas: 2PA01


    Tulisan 1 (Penyesuaian Diri dan Pertumbuhan)

    A.   Konsep penyesuaian diri
    Konsep Penyesuaian Diri
    Seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri, kondisi fisik, mental, dan emosional dipengaruhi dan diarahkan oleh faktor-faktor lingkungan dimana kemungkinan akan berkembang  proses penyesuaian yang baik atau yang salah. Penyesuaian yang sempurna dapat terjadi jika manusia atau individu selalu dalam keadaan seimbang antara dirinya dengan lingkungannya, tidak ada lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan semua fungsi-fungsi organisme atau individu berjalan normal. Namun, penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses sepanjang hayat, dan manusia terus menerus menemukan dan mengatasi tekanan dan tantangan hidup guna mencapai pribadi sehat. Penyesuaian diri adalah suatu proses.
    Kepribadian yang sehat ialah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.

    Pengertian penyesuaian diri
    Pengertian penyesuaian diri adalah proses yang diharapi oleh individu dalam mengenal lingkungan yang baru.
    • Menurut Schneider (dalam Partosuwido, 1993) penyesuaian diri merupakan kemampuan untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustrasi dan kemampuan untuk mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat.
    •  Menurut Callhoun dan Acocella (dalam Sobur, 2003), penyesuaian dapat didefenisikan sebagai interaksi individu yang kontinu dengan diri individu sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia individu.
    • Menurut pandangan para ahli diatas, ketiga faktor tersebut secara konstan mempengaruhi individu dan hubungan tersebut bersifat timbal balik mengingat individu secara konstan juga mempengaruhi kedua faktor lain.
    Menurut Schneiders (1964), pengertian penyesuaian diri dapat ditiinjau dari tiga sudut pandang, yaitu:
    1.      Penyesuaian sebagai adaptasi
    Menurut pandangan ini, penyesuaian diri cenderung diartikan sebagai usaha mempertahankan diri secara fisik, bukan penyesuaian dalam arti psikologis, sehingga ada kompleksitas kepribadian individu dengan lingkungan yang terabaikan.
    1. Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas
    Penyesuaian diri  diartikan sama dengan penyesuaian yang mencakup konformitas terhadap suatu norma. Pengertian ini menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial maupun emosional. Menurut sudut pandang ini, individu selalu diarahkan kepada tuntutan konformitas dan diri individu akan terancam tertolak jika perilaku individu tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
    1. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan
    Penyesuaian diri dipandang sebagai kemampuan untuk merencakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan dan frustasi tidak terjadi, dengan kata lain penyesuaian diri diartikan sebagai kemampuan penguasaan dalam mengembangkan diri sehingga dorongan emosi dan kebiasaan menjadi terkendali dan terarah.

    Berdasarkan tiga sudut pandang tentang penyesuaian diri yang disebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri dapat diartikan sebagai suatu proses yang mencakup suatu respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dari dunia luar atau lingkungan tempat individu berada (Ali & Asrori, 2004).

    B. Pertumbuhan personal 
    1.      Penekanan pertumbuhan, penyesuain diri dan pertumbuhan
    Pertumbuhan dapat  diartikan sebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah) yang herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan.
    Secara umum konsep perkembangan dikemukakan oleh Werner (1957) bahwa perkembangan berjalan dengan prinsip orthogenetis, perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai keadaan di mana diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap. Proses diferensiasi diartikan sebagai prinsip totalitas pada diri anak.
    2.      Variasi dalam pertumbuhan
    Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, individu mendapat banyak rintangan yg datang dari dalam dirinya maupun dari luar.
    3.      Kondisi-kondisi untuk bertumbuh
    Kondisi jasmaniah seperti pembawa dan struktur atau konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkembanganya secara intrinsik berkaitan erat dengan susunan atau konstitusi tubuh. Shekdon mengemukakan bahwa terdapat  kolerasi yang  tinggi antara tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-tipe temperamen (Surya, 1977).
    Karena struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku maka dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang  penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gangguan dalam sisitem saraf, kelenjar, dan otot dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku, dan kepribadian. Disamping itu, kesehatan dan penyakit jasmaniah juga berhubungan dengan penyesuaian diri,  kualitas penyesuaian diri yang baik hanya dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang baik pula. Ini berarti gangguan penyakit jasmaniah yang diderita oleh seseorang akan mengganggu proses penyesuaian dirinya.

    Referensi

    Nama: Anggi Effry Liqwiyanti
    NPM: 10511885
    Kelas: 2PA01